BAGIAN 2
BAHASA UNGKAPAN
Read More ->>
BAHASA UNGKAPAN
Manusia tidak hanya berbahasa dengan cakap lidah saja, tapi juga isyarat, terutama peri ulah serta gerak kita sudah berbahasa. Tubuh manusia juga lah yang menghubungkan yang serba-dalam-batin dengan alam semesta yang-di-luar-diri kita, khususnya yang berciri materi. Fungsi-fungsi fisik dan biologi manusia bersatu ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta fisik di sekeliling kita. Akan tetapi kerangka dasar segi fisiknya mengikuti hukum-hukum asas yang sama. Itu terjadi karena manusia makhluk yang bertubuh.
"Um vollendeter menschlicher Geist zu sein, musz er immer mehr Leib werden", kata ahli pikir J.B Metz. "Agar menjadi roh manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi roh". Seperti juga dalam salah satu "Serat Dewa Ruci":
"Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine, pepindhane wadhah lan isine"
Yang disebut hidup (sejati) tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya, ibarat bejana dan isinya.
"Jeneng wadhah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane"
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana, tidak semestinya dan tidak berguna
"Semono uga isi tanpa wadhah yekti barang mokal"
Demikian juga isi tanpa bejana sungguh hal yang mustahil
"Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi, kang utama karo-karone"
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi, sebaiknyalah dua-duanya.
Jadi bukti dualisme: jasmani dan rohani, melainkan kesatuan tunggal hakiki: rohani-jasmani, itulah manusia.
Dari sebab itu, segala indera dan cita rasa kita yang tergetar oleh suatu situasi atau penggairahan fisik alami, langsung itu menyentuh juga ke dalam perasaan, menimbulkan reaksi dan sikap kejiwaan.
Oleh sebab itu, bila kita berarsitektur, artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan; dengan nurani dan tanggungjawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik. Berarsitektur adalah bebahasa manusiawi dalam arti Merleau-Ponty: dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya. Dari sebab itu, hakikat bahasa arsitektur yang bagus dan citra-citra penghayatannya bukan pertama-tama harus dihubungkan dengan persyaratan kemewahan, biaya mahal, dan sebagainya; seolah-olah arsitektur yang indah terpaksa harus mahal; sedangkan arsitektur yang sedikit biayanya, bagaimana lagi, pasti akan bermutu rendah juga dan sebagainya. Maka salah satu pengenalan kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinasihatkan oleh para ahli pikir Thomas dari Aquinas: "Pulchrum splendor est veritasis (keindahan adalah pancaran kebenaran)".
"Mbau Niang" salah satu bentuk arsitektur sederhana yang mempunyai kualitas yang sangat tinggi dan juga memiliki "teknologi" pencahayaan yang unik.
Seniman Laurie Wilson dari Australia membahasakan bahan yang ada, pasir, batu, air, yang tersedia apa adanya secara alami ke dalam foto-fotonya. Di dalam gambar hasil kreasi inilah bahan alam menjadi kebudayaan. Keindahan di sini merupakan pancaran kebenaran, namun oleh daya upaya manusia. Begitulah kita seyogyanya dalam berkarya ARSITEKTUR.
Seniman Laurie Wilson dari Australia membahasakan bahan yang ada, pasir, batu, air, yang tersedia apa adanya secara alami ke dalam foto-fotonya. Di dalam gambar hasil kreasi inilah bahan alam menjadi kebudayaan. Keindahan di sini merupakan pancaran kebenaran, namun oleh daya upaya manusia. Begitulah kita seyogyanya dalam berkarya ARSITEKTUR.